Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) diberikan pemerintah untuk kompensasi kepada masyarakat miskin akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tujuan utamanya adalah agar masyarakat miskin tidak makin jatuh ke jurang kemiskinan yang makin dalam. Tentu saja tujuannya sangat mulia.
Kini, yang pantas dipersoalkan bukanlah niat dari pemerintah, namun lebih kearah implementasi dari penyaluran BLSM tersebut.
Pertama, kelompok yang berpandangan politis, BLSM dicurigai hanya akan menjadi alat pencitraan oleh partai penguasa. BLSM akan ditarik ke ranah dukung mendukung partai. Apalagi Pemilu tinggal menghitung bulan.
Kedua, kelompok yang berpandangan praktis. Kelompok ini mengkritik BLSM karena tidak mendidik masyarakat. Karena BLSM hanya akan meninabobokan masyarakat dengan kucuran dana. Masyarakat tidak diajarkan untuk bisa survival. Mestinya masyarakat diberikan kail, bukan selalu diberikan ikan. Jika diberikan kail, mereka akan tahu bagaimana cara keluar dari jeratan kemiskinan.
Ketiga, kelompok yang berpandangan sosial-ekonomis. Kelompok ini melihat bahwa bantuan BLSM yang sebenar Rp300 ribu per bulan, dan hanya diberikan dalam hitungan bulan pula, maka tidak akan banyak menolong. Apalagi jika kemudian dana BLSM itu dipergunakan untuk konsumsi. Sudah pasti duitnya akan habis begitu saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Mungkin saja ada kategori kelompok keempat, kelima, dan seterusnya. Namun dari sekian pandangan tersebut, sebenarnya yang disoroti adalah bagaimana bantuan kompensasi kenaikan harga BBM itu tepat programnya dan tepat sasaran. Program harus dibuat sedemikian rupa untuk lebih memberdayakan masyarakat miskin. Bukan sebaliknya meninabobokan mereka dengan keadaan kemiskinannya.
Menyangkut tepat sasaran, bisa dibilang BLSM amburadul. Dari berbagai pemberitaan media massa, terungkap data masyarakat miskin kacau. Banyak pihak yang semestinya tidak berhak menerima, justru diberikan BLSM. Sedangkan yang berhak menerima, malah luput dari kartu BLSM.
Lantas siapa yang mesti disalahkan terkait data ini? Bisa ditebak, BPS akan menjadi lembaga yang dituding. Pasalnya data BPS lah yang menjadi patokan masyarakat miskin. Sayangnya data BPS itu tidak dilakukan sinkronisasi dengan data real lapangan, sehingga banyak salah sasaran.
Ketidakakuratan data penerima BLSM ini menjadi klimas atas dugaan pencitraan partai maupun pemerintah. Pasalnya, dengan kacaunya pembagian BLSM bukannya citra yang diperoleh, melainkan cibiran dan menunjukkan betapa birokrat negeri ini belum bisa menunjukkan performance terbaiknya.
- See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/06/28/59/829057/blsm-salah-sasaran-siapa-pantas-disalahkan#sthash.8mEaoQAl.dpuf
Kini, yang pantas dipersoalkan bukanlah niat dari pemerintah, namun lebih kearah implementasi dari penyaluran BLSM tersebut.
Pertama, kelompok yang berpandangan politis, BLSM dicurigai hanya akan menjadi alat pencitraan oleh partai penguasa. BLSM akan ditarik ke ranah dukung mendukung partai. Apalagi Pemilu tinggal menghitung bulan.
Kedua, kelompok yang berpandangan praktis. Kelompok ini mengkritik BLSM karena tidak mendidik masyarakat. Karena BLSM hanya akan meninabobokan masyarakat dengan kucuran dana. Masyarakat tidak diajarkan untuk bisa survival. Mestinya masyarakat diberikan kail, bukan selalu diberikan ikan. Jika diberikan kail, mereka akan tahu bagaimana cara keluar dari jeratan kemiskinan.
Ketiga, kelompok yang berpandangan sosial-ekonomis. Kelompok ini melihat bahwa bantuan BLSM yang sebenar Rp300 ribu per bulan, dan hanya diberikan dalam hitungan bulan pula, maka tidak akan banyak menolong. Apalagi jika kemudian dana BLSM itu dipergunakan untuk konsumsi. Sudah pasti duitnya akan habis begitu saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Mungkin saja ada kategori kelompok keempat, kelima, dan seterusnya. Namun dari sekian pandangan tersebut, sebenarnya yang disoroti adalah bagaimana bantuan kompensasi kenaikan harga BBM itu tepat programnya dan tepat sasaran. Program harus dibuat sedemikian rupa untuk lebih memberdayakan masyarakat miskin. Bukan sebaliknya meninabobokan mereka dengan keadaan kemiskinannya.
Menyangkut tepat sasaran, bisa dibilang BLSM amburadul. Dari berbagai pemberitaan media massa, terungkap data masyarakat miskin kacau. Banyak pihak yang semestinya tidak berhak menerima, justru diberikan BLSM. Sedangkan yang berhak menerima, malah luput dari kartu BLSM.
Lantas siapa yang mesti disalahkan terkait data ini? Bisa ditebak, BPS akan menjadi lembaga yang dituding. Pasalnya data BPS lah yang menjadi patokan masyarakat miskin. Sayangnya data BPS itu tidak dilakukan sinkronisasi dengan data real lapangan, sehingga banyak salah sasaran.
Ketidakakuratan data penerima BLSM ini menjadi klimas atas dugaan pencitraan partai maupun pemerintah. Pasalnya, dengan kacaunya pembagian BLSM bukannya citra yang diperoleh, melainkan cibiran dan menunjukkan betapa birokrat negeri ini belum bisa menunjukkan performance terbaiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar